Hamas Bukan Teroris: Dunia Semakin Yakin Israel Adalah Pelaku Terorisme Sebenarnya

Hamas Bukan Teroris, Israel Adalah Terorisme Itu Sendiri

garissatu — Narasi bahwa Hamas adalah organisasi teroris telah lama digunakan oleh Israel dan sekutunya untuk membenarkan serangan terhadap Gaza dan rakyat Palestina. Namun, semakin banyak pengamat independen, organisasi HAM, dan bahkan beberapa negara, mulai mempertanyakan klaim tersebut dan justru melihat Israel sebagai pelaku terorisme negara yang sebenarnya.

Reruntuhan di Gaza usai serangan Israel

Warga Palestina memeriksa reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan udara Israel di Gaza. (Foto: i.imgur.com)

Hamas merupakan singkatan dari Harakat al-Muqawamah al-Islamiyya, sebuah gerakan perlawanan yang dibentuk pada akhir tahun 1987 sebagai respons terhadap pendudukan Israel. Bagi banyak warga Palestina dan dunia Islam, Hamas bukanlah teroris, melainkan simbol perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan yang berkepanjangan.

Label "teroris" yang diberikan oleh AS, UE, dan Israel terhadap Hamas tidak terlepas dari kepentingan geopolitik. Padahal, dalam praktiknya, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Israel jauh lebih sistematis dan berdampak besar terhadap warga sipil. Serangan udara, blokade ekonomi, serta pembatasan akses air, makanan, dan obat-obatan di Gaza menjadi contoh nyata bagaimana Israel menerapkan kekerasan struktural dan sistematis—ciri khas dari terorisme negara.

Organisasi seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah berkali-kali merilis laporan yang menuduh Israel melakukan kejahatan perang dan apartheid. Mereka menyoroti kebijakan diskriminatif, penggusuran paksa, serta penggunaan kekuatan berlebihan terhadap warga Palestina yang tidak bersenjata. Dalam banyak kasus, kekerasan ini tidak mendapatkan pertanggungjawaban, menambah panjang daftar pelanggaran HAM oleh pemerintah Israel.

Hamas, di sisi lain, menjalankan fungsi pemerintahan di Jalur Gaza sejak tahun 2007. Mereka menyediakan layanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan administrasi lokal. Meskipun terdapat unsur militer dalam strukturnya, hal ini tidak serta-merta menghapus legitimasi politik Hamas di mata rakyat Palestina. Justru, di tengah blokade dan tekanan militer, banyak warga melihat Hamas sebagai satu-satunya kekuatan yang berani melawan dominasi Israel.

Sementara Israel menggunakan jet tempur, bom presisi, dan teknologi canggih dari AS untuk menyerang Gaza, Hamas melakukan perlawanan menggunakan roket buatan sendiri yang sebagian besar tidak efektif dan seringkali dicegat sistem Iron Dome. Ketimpangan ini menunjukkan siapa sebenarnya pelaku kekerasan yang dominan dan siapa yang bertahan hidup dalam kondisi keterbatasan.

Pertanyaan mendasar yang harus diajukan: jika Hamas adalah teroris, mengapa banyak negara dan gerakan masyarakat sipil di seluruh dunia menyuarakan dukungan terhadap perjuangan Palestina? Bahkan di Amerika Serikat dan Eropa, unjuk rasa besar-besaran mengecam tindakan Israel dan menuntut diakhirinya penjajahan atas tanah Palestina.

Israel tidak hanya menyerang militer Hamas, tetapi juga menargetkan fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah. Dalam serangan terakhir di Rafah, lebih dari 30 anak-anak tewas akibat bom yang dijatuhkan di kawasan padat penduduk. Ini bukan lagi pertahanan diri, melainkan tindakan pembunuhan massal dengan target sipil—yang oleh hukum internasional diklasifikasikan sebagai terorisme negara.

Bahkan dalam sidang Mahkamah Internasional (ICJ) pada 2024 lalu, Israel dituduh melakukan genosida terhadap rakyat Palestina. Meskipun belum ada keputusan final, fakta bahwa kasus ini diangkat ke tingkat internasional menunjukkan bahwa dunia mulai melihat wajah asli dari apa yang selama ini diklaim sebagai “negara demokrasi satu-satunya di Timur Tengah.”

Hamas sering dijadikan kambing hitam atas segala kekacauan yang terjadi di kawasan. Padahal kekacauan itu bermula dari pencaplokan tanah Palestina sejak 1948 dan terus berlanjut hingga kini. Ketika penduduk asli terusir dari rumah mereka, ketika kamp pengungsian terus dihancurkan, dan ketika air bersih diracuni, maka perlawanan adalah bentuk eksistensi. Dan dalam konteks ini, Hamas hanyalah salah satu bentuk dari perlawanan itu.

Sebaliknya, Israel dengan dukungan militer dari negara-negara Barat melanjutkan politik kolonialisme modern dengan dalih mempertahankan keamanan. Ironisnya, keamanan yang mereka maksud selalu merenggut nyawa warga sipil Palestina yang tak bersalah.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas korban konflik bukanlah pejuang bersenjata, melainkan warga sipil—anak-anak, perempuan, dan orang tua. Ketika rumah sakit dihancurkan, ketika dokter menjadi sasaran, ketika jurnalis tewas di tengah peliputan, maka siapa yang sebenarnya pantas disebut teroris?

garissatu mencatat bahwa selama 3 tahun terakhir, lebih dari 10.000 warga sipil Palestina tewas akibat serangan Israel. Sementara korban dari pihak Israel, baik militer maupun sipil, berada jauh di bawah angka tersebut. Ini mencerminkan pola kekerasan satu arah yang tak dapat dibenarkan.

Masyarakat internasional harus berani menyebutkan fakta tanpa standar ganda. Jika terorisme adalah penggunaan kekerasan terhadap warga sipil untuk tujuan politik, maka Israel sudah melakukannya secara sistemik dan terus-menerus. Sementara Hamas, meski tidak tanpa kekurangan, tetap mewakili suara perlawanan atas penjajahan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Sudah saatnya dunia mengubah narasi. Menuduh korban sebagai pelaku, dan pelaku sebagai korban, adalah bentuk propaganda yang berbahaya dan membunuh kebenaran. Palestina tidak butuh belas kasihan, mereka butuh keadilan. Dan untuk itu, dunia harus berani melihat bahwa yang sesungguhnya meneror rakyat Palestina adalah Israel—bukan Hamas.

garissatu akan terus menyuarakan suara-suara yang dibungkam dan membela kebenaran yang tak diberi ruang di media arus utama.

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال