![]() |
Presiden Amerika Donald Trump |
Garissatu – Kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi sorotan. Pasalnya, laporan terbaru menyebutkan bahwa Trump berhasil "mengantongi" pendapatan negara senilai 125 miliar dolar AS atau setara Rp 1.831 triliun (kurs Rp14.650) dari kebijakan tersebut selama masa kepemimpinannya.
Jumlah tersebut berasal dari tarif impor yang dikenakan terhadap berbagai produk asing, terutama dari Tiongkok, sejak perang dagang dimulai pada 2018. Laporan ini menimbulkan debat hangat di Amerika Serikat tentang efektivitas dan dampak jangka panjang dari kebijakan proteksionisme ekonomi ala Trump.
Tarif Impor: Senjata Dagang yang Jadi Sumber Pemasukan
Pada masa kepemimpinannya (2017–2021), Trump menerapkan tarif tinggi terhadap berbagai negara yang dianggap merugikan perekonomian AS. Tiongkok menjadi sasaran utama, dengan produk-produk seperti baja, aluminium, elektronik, dan tekstil dikenai tarif tambahan hingga 25%.
Tujuan utamanya adalah:
-
Mengurangi defisit perdagangan AS,
-
Melindungi industri dalam negeri,
-
Menciptakan lapangan kerja baru bagi warga Amerika.
Namun, efek dari kebijakan tersebut ternyata tidak hanya berdampak pada persaingan dagang. Berdasarkan laporan resmi dari U.S. Customs and Border Protection (CBP), pemerintah AS mengumpulkan lebih dari 125 miliar dolar AS selama kebijakan tarif Trump diterapkan. Dana ini langsung masuk ke kas negara, dan dalam beberapa kasus digunakan untuk subsidi petani Amerika yang terdampak retaliasi dari negara mitra dagang.
Apakah Trump Benar-Benar “Kantongi” Uang Itu?
Frasa “Trump kantongi Rp 1.831 triliun” secara teknis mengacu pada negara (pemerintah federal) di bawah kebijakan Trump, bukan keuntungan pribadi. Namun, dalam retorika politik, terutama menjelang pemilu, Trump kerap membanggakan bahwa kebijakannya telah membuat Amerika “mendapatkan kembali” ratusan miliar dolar dari negara-negara seperti Tiongkok, Meksiko, dan Uni Eropa.
Dalam pidatonya, Trump pernah mengatakan:
“Mereka pikir mereka bisa menipu Amerika. Sekarang, kita yang untung. Kita kumpulkan miliaran dolar dari mereka.”
Meskipun pendapatan negara meningkat, banyak ekonom menilai bahwa beban tarif justru ditanggung oleh konsumen dan importir Amerika sendiri melalui harga barang yang lebih mahal.
Tiongkok: Sumber Terbesar Pendapatan Tarif
Tiongkok menjadi penyumbang terbesar dalam skema tarif ini. Sejak perang dagang diluncurkan, produk-produk Tiongkok dikenakan tarif hingga ratusan miliar dolar. Secara total, lebih dari 80% dari pendapatan tarif tersebut berasal dari barang impor asal Tiongkok.
Sebagai balasannya, Tiongkok juga memberlakukan tarif terhadap produk pertanian dan energi dari AS, yang memukul sektor pertanian Amerika. Untuk meredam dampaknya, pemerintahan Trump kala itu mengucurkan miliaran dolar dalam bentuk subsidi.
Dampak bagi Ekonomi Amerika
Kebijakan tarif Trump memberikan efek beragam bagi perekonomian AS:
✅ Dampak Positif:
-
Pemerintah mendapat pemasukan besar dari tarif.
-
Industri baja dan aluminium dalam negeri sempat mengalami peningkatan produksi.
-
Trump memperoleh dukungan politik dari basis pemilih industri dan pertanian.
❌ Dampak Negatif:
-
Harga barang impor naik, terutama elektronik dan bahan bangunan.
-
Ketegangan dagang berdampak pada pasar keuangan global.
-
Petani AS terdampak retaliasi negara lain, terutama Tiongkok.
Kembali Jadi Isu Kampanye 2024–2025
Kini, ketika Trump kembali mencalonkan diri dalam pemilu presiden AS, isu tarif impor ini diangkat kembali sebagai pencapaian besar. Ia menggunakan data pendapatan tarif Rp 1.831 triliun tersebut sebagai bukti bahwa pendekatan “America First” berhasil meningkatkan kekuatan ekonomi AS.
Namun, lawan-lawan politiknya menilai bahwa kebijakan tersebut bersifat jangka pendek dan membebani masyarakat. Mereka juga menyoroti bahwa perusahaan-perusahaan Amerika akhirnya tetap membayar harga tinggi karena tarif tersebut, bukan benar-benar “membuat Tiongkok membayar”.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Ini?
Garissatu mencatat bahwa kebijakan tarif, bila digunakan secara selektif dan strategis, memang bisa menjadi alat negosiasi ekonomi yang efektif. Namun jika dilakukan secara masif tanpa perencanaan jangka panjang, efeknya justru bisa merugikan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Banyak negara kini menilai ulang penggunaan tarif sebagai alat utama kebijakan dagang. Mereka mencari keseimbangan antara proteksi terhadap industri dalam negeri dan keterbukaan terhadap perdagangan global.
Kesimpulan
Donald Trump mungkin tidak “mengantongi” uang tersebut secara pribadi, namun pemerintahan yang ia pimpin berhasil menarik Rp 1.831 triliun melalui tarif impor. Hal ini menyoroti bagaimana kebijakan ekonomi bisa menjadi alat politik yang kuat-baik untuk mendapatkan dukungan publik, maupun sebagai instrumen negosiasi dalam perdagangan internasional.
Apakah langkah Trump ini akan diulang jika ia kembali terpilih? Dan bagaimana dunia merespons proteksionisme baru? Semua itu akan sangat menentukan arah ekonomi global dalam beberapa tahun ke depan.