Kepala Staf Israel Akui: Perang di Gaza Lebih Rumit dari yang Pernah Dibayangkan!

Militer Israel di Jalur Gaza

Keterangan: Tentara Israel bersiaga di sekitar Jalur Gaza saat konflik berkecamuk.

garissatu — Kepala Staf Angkatan Darat Israel, Letnan Jenderal Herzi Halevi, menyebut bahwa perang di Jalur Gaza merupakan salah satu pertempuran paling rumit yang pernah dihadapi oleh militer Israel sepanjang sejarahnya. Pernyataan ini menyoroti eskalasi dan kompleksitas operasi militer yang sedang berlangsung, serta dampaknya terhadap strategi dan stabilitas kawasan.

Dalam konferensi pers di Tel Aviv, Halevi mengatakan, “Ini bukan sekadar operasi militer biasa. Ini adalah pertempuran multi-front, dengan tekanan internasional, ancaman roket dari Hamas, serta kebutuhan untuk meminimalkan korban sipil di wilayah padat penduduk.”

Konflik antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina di Gaza telah berlangsung selama berbulan-bulan, memicu keprihatinan global. Dengan ribuan korban jiwa, banyak dari mereka warga sipil, dunia internasional mendesak gencatan senjata. Namun hingga kini, eskalasi masih terjadi tanpa tanda-tanda mereda.

Letnan Jenderal Halevi juga mengungkapkan bahwa pihak militer menghadapi tantangan logistik dan intelijen yang besar. “Kami menghadapi musuh yang tersembunyi di jaringan terowongan, menggunakan taktik gerilya, dan memanfaatkan populasi sipil sebagai tameng hidup,” katanya.

Pernyataan ini muncul setelah berbagai laporan menyebut bahwa operasi militer Israel telah menyebabkan kehancuran besar-besaran di Gaza, termasuk pada infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan fasilitas air bersih.

Baca juga: Banjir Besar di Filipina, Ribuan Warga Mengungsi

Halevi juga menyinggung tantangan moral yang dihadapi pasukan di lapangan. “Kami berusaha menjalankan operasi ini sesuai dengan hukum internasional, namun medan perang urban seperti Gaza membuat keputusan militer menjadi sangat kompleks,” ungkapnya.

Sementara itu, masyarakat internasional terus menyoroti Israel atas tingginya angka korban sipil. Organisasi HAM internasional mendesak adanya penyelidikan independen atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 30.000 warga Palestina telah tewas sejak serangan dimulai. Sementara di pihak Israel, ratusan tentara juga dilaporkan tewas dan luka-luka akibat pertempuran intens di wilayah utara dan tengah Gaza.

“Kami tidak akan berhenti sampai ancaman dari Hamas dan kelompok lainnya benar-benar dihentikan. Tapi kami tahu bahwa ini tidak akan mudah, dan kami harus siap untuk pertempuran panjang,” ujar Halevi.

Pengamat militer menyebut bahwa pengakuan ini merupakan upaya transparansi dari pihak militer Israel, sekaligus sinyal bahwa konflik ini bisa berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan.

“Ini adalah bentuk komunikasi strategis kepada publik Israel dan dunia, bahwa perang ini bukan sekadar misi cepat,” ujar analis pertahanan Amos Harel dari Haaretz.

Baca juga: Turki dan Mesir Akan Luncurkan Perang Besar Terhadap Israel?

Dalam konteks politik domestik, pernyataan Halevi ini juga dianggap sebagai pembelaan terhadap strategi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang dikritik banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.

Banyak keluarga tentara dan warga sipil menggelar unjuk rasa menuntut diakhirinya operasi militer yang berkepanjangan ini. Mereka menilai pemerintah tidak transparan soal tujuan jangka panjang dan biaya nyawa yang harus ditanggung.

Menanggapi kritik ini, Halevi menyatakan bahwa semua operasi dijalankan dengan perencanaan matang dan evaluasi risiko tinggi. “Kami tahu ini sulit. Tapi kami tidak punya pilihan lain ketika roket-roket menghujani wilayah kami,” ujarnya.

Sementara itu, pemerintah Amerika Serikat masih menyatakan dukungannya terhadap hak Israel membela diri, namun terus mendorong solusi dua negara sebagai jalan damai jangka panjang.

Presiden AS Joe Biden dalam pernyataannya baru-baru ini menyebutkan bahwa “setiap langkah Israel di Gaza harus mempertimbangkan dampaknya terhadap warga sipil.”

Situasi di Gaza juga memicu ketegangan di perbatasan utara Israel dengan Lebanon, di mana milisi Hizbullah terlibat dalam sejumlah insiden penembakan lintas batas.

“Kami tidak hanya menghadapi satu musuh, tapi jaringan kelompok yang tersebar dan memiliki koneksi regional,” jelas Halevi.

Baca juga: Donald Trump: Saya Akan Serang Iran Lagi Jika Terpilih!

Sementara itu, di jalur diplomatik, Mesir dan Qatar terus mencoba memediasi gencatan senjata. Namun sumber diplomatik menyebut bahwa posisi masing-masing pihak masih sangat bertolak belakang.

“Kami siap berdialog kapan saja. Tapi kami juga siap berperang selama dibutuhkan,” kata Letjen Halevi menutup pernyataannya.

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال